Jeritan Sunyi Dari Simpang KKA Aceh Utara, Dua Dekade Damai, Tubuhnya Masih Bernafas, Tapi Jiwanya Telah Remuk

oleh -734 Dilihat
oleh
Jeritan Sunyi Dari Simpang KKA Aceh Utara, Dua Dekade Damai, Tubuhnya Masih Bernafas, Tapi Jiwanya Telah Remuk
Foto: Muhammad Syukur, Dok. Modusaceh.co

Tragedi Simpang KKA adalah satu dari sekian luka dalam sejarah panjang konflik Aceh. Pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat belum cukup tanpa keadilan substantif dan pemulihan menyeluruh. Peringatan 15 hari damai 15 Agustus 2025, seharusnya menjadi panggung untuk menyuarakan mereka yang selama ini dilupakan.

 

Aceh Utara – Damai telah dua dekade bersemi di Aceh. Tapi bagi sebagian orang, terutama mereka yang menjadi korban langsung kekerasan masa silam, waktu tak pernah benar-benar menyembuhkan.  Salah satu suara itu datang dari Muhammad Syukur.

Lelaki berusia 40 tahun ini, hidup dalam tubuh yang dewasa, namun jiwanya terperangkap di usia 14 tahun, usia peluru tentara menghentikan hidup normalnya dalam Tragedi Simpang KKA, 3 Mei 1999.

Syukur bukan sekadar korban yang selamat. Dia hidup, tapi seolah tak pernah benar-benar kembali.

Masa depan yang pernah ia rajut sebagai santri pupus sudah, bersama darah yang tumpah siang itu di jalan lintas Medan-Banda Aceh, Krueng Geukueh.

Tubuhnya masih bernapas, tapi jiwanya telah remuk. Kamis siang, 14 Juli 2025, Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA), Murtala (54), kembali menyambangi rumah keluarga Syukur di kawasan Bireuen.

Rumah panggung kayu itu, tak hanya menyimpan kenangan, tapi juga luka yang belum sembuh. Di sana, ia disambut Kamaliah Amin, ibu Syukur, dan Sri Wahyuni, kakaknya. Keduanya sudah lelah berbicara kepada dunia yang terus berlalu. Tapi sore itu, mereka kembali menyuarakan harapan yang entah didengar atau tidak.

“Masih adakah yang sudi mendengar suara korban?” tanya Murtala lirih, Rabu, 6 Agustus 2025. Kala peristiwa itu terjadi, Kamaliah sedang duduk di beranda rumahnya di Gampong Cot Geureundong. Hari berjalan seperti biasa, hingga kabar buruk dating, Syukur tertembak.

Semula dia tak percaya. Sebab, putranya sedang menuntut ilmu agama di satu dayah di Sawang. Tapi berita itu bukan kabar burung. Itu nyata. Syukur dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Zainal Abidin di Banda Aceh dalam kondisi kritis. Ia selamat, tapi tak utuh.  Sejak itu, hidupnya berubah.

Syukur menjadi pribadi yang tertutup, penuh ketergantungan, dan terpenjara dalam trauma yang tak kasat mata. “Sampai sekarang saya belum bisa melupakan. Saya masih trauma,” kata Kamaliah, lirih. Sementara Sri Wahyuni menunduk diam.

Cerita Syukur bukan satu-satunya. Masih banyak korban tragedi berdarah di Aceh yang mengalami nasib serupa dan terkesan dibiarkan sendiri. Tak ada program pemulihan trauma. Tak ada pemberdayaan berkelanjutan.

Bahkan, mereka kerap terpinggirkan dari peta kebijakan. Padahal, dana otonomi khusus mengalir deras ke Aceh. Tapi para korban? Tenggelam dalam sepi. “Kami menanti keadilan. Bukan hanya pemulihan ekonomi, tapi juga pengadilan,” kata Murtala.

Negara memang pernah mengakui Tragedi Simpang KKA sebagai pelanggaran HAM berat, tepatnya pada Januari 2023. Namun pengakuan itu ibarat obat penenang, bukan penyembuh. Tak ada satu pun pelaku yang diadili. Tak ada upaya memulihkan korban secara menyeluruh.

“Adakah luka sembuh hanya dengan selembar pengakuan?” tanya Yusrizal (44), penyintas sekaligus Sekretaris FK3T-SP. KKA. Yusrizal tak mampu menutupi kekecewaan.

Menurutnya, negara tak pernah hadir di saat para korban paling membutuhkannya. Program trauma healing? Tak pernah menyentuh akar. Data korban? Tak tertata rapi. Bantuan? Tak tepat sasaran.

Bahkan diskriminasi gender masih terjadi dalam proses pendataan dan pemberian hak. “Banyak perempuan korban yang tidak tercatat. Seolah-olah trauma mereka tak penting,” ujarnya. Meski begitu, para korban memilih tidak menyerah. Mereka bangkit sendiri. Mereka saling menguatkan, membentuk jaringan komunitas, menjadi kader kesehatan, menjadi relawan pendamping.

Mereka bergerak bukan karena negara membantu, tapi karena tak ingin hilang ditelan sejarah yang dilupakan. Namun, perjuangan itu tetap membutuhkan sistem. Kelembagaan. Dukungan politik.

Kebijakan afirmatif. Sayangnya, hingga kini, Aceh bahkan belum memiliki rencana induk pemulihan korban konflik. Tak ada peta jalan. Tak ada anggaran khusus. Tak ada keberpihakan yang jelas.

“Dokumen-dokumen sejarah konflik dan perdamaian perlu dirawat. Harus ada kurikulum sejarah konflik Aceh agar generasi ke depan tahu dan tidak mengulang,” ujar Murtala. Ia juga berharap, negara membangun museum memorial di titik-titik tragedi berdarah. Salah satunya di Simpang KKA. Tidak untuk membuka luka lama, tapi agar bangsa ini belajar dari masa lalu.

“Kami tidak hanya butuh bantuan ekonomi. Kami butuh pemulihan trauma dan keadilan. Negara tidak boleh memaafkan pelaku. Itu hak korban,” ujarnya tegas. Dua puluh tahun sudah perdamaian diteken di Helsinki.

Tapi bagi para korban, waktu seperti berhenti. Di sudut-sudut sunyi Aceh, masih banyak suara yang tak pernah sampai ke meja pengambil kebijakan. Mereka bukan melawan negara.

Mereka hanya ingin diakui, disembuhkan, dan diberi hak yang pernah dijanjikan. “Sampai kapan kami harus menanti?” ujar Murtala, menggantung harap pada langit Aceh yang semakin senyap.(Fadly P.B)

 

Source Artikel: Modusaceh.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.